Musium Musik

SUATU siang jalan-jalan di Museum Ronggowarsito Semarang, terasa adhem. Gedung berarsitektur joglo itu meski tanpa pengatur udara, tetap jauh dari pengap. Bisa jadi karena siang itu tak ada pengunjung lain, kecuali saya seorang yang termangu dari ruang satu ke ruang lain.

Museum Ronggowarsito yang difungsikan sejak 1983 itu berada di antara 200 museum di seluruh Indonesia, dengan 50 ribu koleksi. Tapi realitanya, di beberapa ruang banyak pula meja display yang kosong dan berdebu, sehingga jumlahnya bisa jauh dari angka itu, mungkin malah cuma separonya.

Sebagaimana layaknya museum besar, Museum Ronggowarsito juga memiliki koleksi beragam. Dari peninggalan zaman peradaban batu dan logam, situs dan artefak, peninggalan kolonial, berbagai diorama perjuangan, wayang, transpotasi, pusaka, sampai tandu dan dipan kayu yang pernah digunakan Panglima Sudirman.

Maka, sempurna sudah pencitraan sebuah museum sebagai institusi yang dibutuhan masyarakat, khususnya para siswa untuk kepentingan studi sebagaimana citra museum pada umumnya. Tapi mengapa museum itu sepi pengunjung? Haruskah menerima kenyataan bahwa sangat biasa kalau museum selalu sepi peminat?

Untuk mengubah stigma museum sebagai institusi yang statis, maka ke depan perlu diupayakan suatu pemberdayaan, baik sumber daya manusia (SDM)-nya maupun peningkatan kualitas sarana teknologi modern, seperti penyediaan informasi melalui internet atau multimedia.

Pola lama yang mencitrakan seolah museum dikelilingi beteng layak mulai ditinggalkan. Hilangkan stigma bahwa museum adalah sarang debu dan laba-laba; beruntung kalau tidak dihuni hantu. Bahwa di era sekarang, museum ternyata juga perlu pemasaran. Perlu bersolek. Bahwa museum juga perlu dan harus bisa menghibur!

Menyoal performance, atmosfer Museum Ronggowarsito juga perlu diubah dengan gaya yang lebih gaul, familiar, dan entertaining, misalnya —cara yang paling gampang— melalui penggarapan audio di setiap sudut ruang. Itu perlu untuk menjajaki kemungkinan budaya musik bisa hidup di museum, mengingat selama ini tak pernah terbersit industri hiburan (utamanya musik) masuk museum, apalagi terpikirkan bahwa musik juga bisa menjadi bahan studi untuk siswa.

Hal itu terasa mendesak, mengingat sampai kini di Indonesia belum ada satu pun museum musik, kecuali segelintir individu yang menyimpan koleksi benda-benda musik bersejarah milik pribadi. Padahal kalau mau dirunut, aset musik Indonesia sudah ada sejak beberapa dasawarsa silam.

Di mana naskah partitur WR Supratman dengan lagu “Indonesia Raya”? Apa alat musik kali pertama yang digunakan Gesang saat membuat lagu “Bengawan Solo”? Di mana gitar milik Bing Slamet? Di mana biola Idris Sardi, atau boneka Susan milik Ria Enes?

Fenomena Hard Rock

Persoalan museum musik, belajar saja dari Hard Rock CafÇ. Jauh-jauh hari, jaringan tempat hiburan seperti Hard Rock CafÇ di seluruh dunia telah memulai menyimpan dan memamerkan produk industri musik dunia ke bentuk memorabilia.

Di Kafe Hard Rock di negara mana pun, termasuk di Jakarta dan Bali, disimpan dan dipajang pernak-pernik berupa alat musik, busana pentas, serta piringan hitam dari para pelaku industri musik dunia di masa lalu.

Lihat saja baju pentas Michael Jackson, korset Madonna, kacamata Elton John, jaket milik Elvis Presley, atau gitar Jimi Hendrix, bisa ditemui lengkap dengan tanda tangan artis masing-masing. Bagaimana pun, jaringan Hard Rock sudah memulai itu sejak beberapa puluh tahun silam, tanpa mau menyebut aset tersebut sebagai museum. Itulah fenomena menarik demi menghargai sejarah.

Melihat kenyataan tersebut, sangat mungkin Meseum Ronggowarsito Semarang memulainya tanpa terlebih dulu menunggu Jakarta sebagai gudangnya berbagai museum.

Terlebih, ternyata banyak aset musik bertebaran di seantero Jawa Tengah, baik musik tradisional (etnik) maupun musik modern.
Sebagaimana sifat museum, pengadaan koleksinya bisa berasal dari hibah masyarakat, meski sebagian besar koleksi tersebut pengadaannya melalui pemberian imbalan. Begitu juga Museum Ronggowarsito.

Yang menggembirakan, sampai kini koleksi hibah terus bertambah setiap saat. Sejak berdiri sampai sekarang, tercatat nama-nama tokoh masyarakat Semarang yang telah menghibahkan koleksinya ke Museum Ronggowarsito, seperti Ir Tedjo Suminto, Prof Dr.Soetomo WE, Dr Sudharto MA, Ny Gunadi, Ny Poedjihardjo, Harry Roesbandi, Subandrio, Ny Mardi Sunarto, dan Ny Sugandi. Bahkan Mendagri Mardiyanto pernah pula menghibahkan kaset-kaset wayang Ki Narto Sabdo.

Jika buah karya Ki Narto Sabdo sudah tersimpan di Museum Ronggowarsito, itu merupakan sebuah awal yang baik; kerja sama di masa mendatang bisa dijajaki dengan merangkul institusi seperti RRI (Radio Republik Indonesia).

Misalnya di Solo dengan Perusahaan Rekaman Lokananta (milik RRI Surakarta) yang memiliki piringan hitam bersejarah dari tahun ke tahun, gramaphone (alat pemutar piringan hitam), atau piranti perekam analog (menggunakan pita ril magnetik) yang bernilai historis. Belum lagi benda-benda pribadi milik para kolektor, berupa PH (piringan hitam), kaset, partitur, atau majalah musik.

Seorang rekan musikus di Semarang, Harry Joko, adalah kolektor komplet pernak-pernik musik Indonesia 1960 sampai 1980-an. Gramaphone buatan Surabaya merek “Sarinah” sampai buatan Jerman masih tersimpan rapi di rumahnya.

Juga video rekaman acara TVRI “Kamera Ria” (1960-1970-an), PH tertua milik Adi Karso dengan lagu “Pepaya Cha Cha”, PH Jack Lemmers dengan lagu “Gendjer-gendjer” (bertanda tangan Bung Karno), ratusan PH dan kaset para penyanyi Indonesia, serta majalah-majalah musik Aktuil dan Discorina, adalah aset yang tak ternilai harganya.

Jadi, munginkah memorabilia musik Indonesia berdiri di Kota Semarang? Sudah saatnya permuseuman Semarang berbenah.(68)  

– Bambang Iss, wartawan, pemerhati masalah musik dan pertunjukan, tinggal di Semarang.